Pages

Subscribe:

Sabtu, 14 Januari 2012

Jawa Tengah Dikepung Bencana

 KONDISI Jawa Tengah (Jateng) akhir-akhir ini ibarat ‘’kinepung wakul binaya mangap’’. Terkepung bencana dari segala penjuru. Kondisi seperti itu rutin terjadi pada akhir dan awal tahun, saat musim penghujan. Bahkan tahun 2012 ini Jateng menduduki peringkat pertama daerah terawan bencana di Indonesia. Semua daerah terancam, khususnya yang disebabkan oleh alam.

Banjir, longsor, puting beliung, jembatan ambrol, erosi, jalan amblas, dan lainnya, terjadi di semua daerah. Bisa dikatakan tiada hari tanpa terjadi bencana. Dampaknya juga berpotensi menimbulkan korban jiwa, harta benda, dan trauma.

Wilayah eks Karesidenan Surakarta (Sragen, Solo, Boyolali, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, Klaten) didera banjir akibat Bengawan Solo meluap dan curah hujan tinggi, longsor, dan angin topan. Eks Karesidenan Banyumas (Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara), terancam banjir, tanah longsor, jalan ambrol/putus.

Pantura timur (Kudus, Pati, Jepara, Rembang, Blora), tetap menjadi langganan banjir, puting beliung, abrasi. Pantura barat (Batang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Tegal, Brebes), rutin diterjang puting beliung, banjir, longsor. Sedang daerah eks Karesidenan Semarang (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Grobogan, Kendal, Demak), selalu dihantui banjir, longsor, dan puting beliung.

Di antara wilayah di Jateng, ancaman paling serius berada di Wilayah Kedu (Temanggung, Kebumen, Wonosobo, Purworejo, Kota magelang, Kabupaten Magelang). Bencana di daerah ini didominasi banjir lahar dingin, tanah longsor, jembatan ambrol, banjir bandang, erosi).

Bahkan khusus banjir lahar dingin, jelas tidak dapat dihindari. Mengingat Januari - Maret 2012 diperkirakan curah hujan tinggi, sementara timbunan material vulkanik akibat erupsi Merapi akhir 2010, masih sekitar seratus juta meter kubik.

Pada saat hujan lebat, material/lahar dingin itu sebagian besar akan dialirkan lewat 10 sungai yang berhulu di puncak Merapi. Sungai tersebut berada di daerah Magelang, yakni Sungai Krasak, Lamat, Bebeng, Senowo, Batang, Trising, Apu, Putih, Blongkeng, dan Sungai Pabelan.

Di kanan dan kiri sungai itu, sekitar radius satu meter hingga 300 meter dari bibir sungai, dihuni 27.948 kepala keluarga (KK) dengan 94.993 jiwa, dan 27.917 rumah. Mereka itu warga 54 desa di tujuh kecamatan, yakni Srumbung, Dukun, Sawangan, Salam, Muntilan, Mungkid, dan Kecamatan Ngluwar.

Jika terjadi terjangan lahar dingin, otomatis warga yang tinggal di sekitar sungai itu, jelas berpotensi terkena dampak. Padahal persoalan ratusan KK yang mengungsi dan menempati hunian sementara (huntara) akibat dampak tidak langsung erupsi Merapi atau rumahnya diterjang lahar dingin, hingga kini belum ada solusi pasti.

Dukungan Dana

Menghadapi kenyataan itu Gubernur Jateng, Bibit Waluyo merelakan dana tak tersangka (TT) untuk digunakan pada saat tanggap darurat. Sebagian dari anggaran itu, Rp 759 juta, Kamis lalu telah diserahkan ke Kabupaten Pati melalui Komisi E DPRD Jateng.

Sekda Prov Jateng, Hadi Prabowo yang juga Ketua Tim Anggaran dan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng ex officio serta Komisi E DPRD, berkomitmen tinggi terhadap langkah penanggulangan bencana di Jateng, terbukti tahun 2012 BPBD mendapat alokasi anggaran sekitar Rp 17 miliar lebih.

Sementara Kepala Pelaksana BPBD, Sarwa Pramana, senantiasa juga telah menjalin hubungan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mencari dukungan dana, sarana, logistik, teknis. Hasilnya, BNPB memberi dukungan yang memadai untuk penanggulangan bencana di Jateng, termasuk mengatasi dampak langsung dan tak langsung erupsi Merapi. Jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah. Tahun 2012, BPBD juga menerima alokasi anggaran tanggap darurat bencana (on call) Rp 15 miliar, dan Rp 1,3 miliar telah digunakan untuk memperkuat cadangan logistik.

Tiap tahun BNPB lewat bantuan berpola hibah, juga mengalokasikan dana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) reguler terhadap dampak bencana di wilayah kabupaten/kota. Untuk tahun anggaran 2011 yang realisasinya tahun 2012, jumlahnya mencapai Rp 96,7 miliar lebih. Dana ini dialokasikan untuk Kabupaten Cilacap, Kebumen, Rembang, Temanggung, Kendal, Demak, Grobogan, Dinas Cipkataru, dan BPBD Jateng.

Masih ada dana lagi dari BNPB untuk pemulihan dini pascaerupsi Merapi.

Apakah dana sebanyak itu akan menyelesaikan persoalan? Jawabnya tentu belum. Penanganan bencana tidak cukup hanya dengan uang. Perlu kesamaan pendekatan, sinergitas, komitmen tinggi, dan konsistensi semua pihak terkait/pemangku kepentingan. Koordinasi antara BNPB, BPBD Jateng, dan BPBD kota/kabupaten, harus terjalin harmonis. Cuma repotnya, belum semua kota/kabupaten di Jateng telah membentuk BPBD.

Dari 35 daerah tingkat II, baru 17 yang membentuk BPBD berdasar peraturan daerah (Perda), 14 berlandaskan peraturan bupati (Perbub), dan empat kota yakni Magelang, Solo, Pekalongan, Salatiga, belum memiliki. Memang tak ada sanksi hukum bagi kota/kabupaten yang belum membentuk. Namun jika mengacu pada realitas bahwa di semua daerah berpotensi terjadi bencana, rasanya pembentukan badan itu tak lagi layak untuk ditunda.

Perlu Komitmen

Masyarakat tentu bertanya kenapa masih ada kota/kabupaten belum membentuk BPBD, terutama yang berlandaskan pada Perda? Takut membebani APBD karena perlu gaji pegawai? Alasan ini rasanya tidak logis, mengingat personel yang dibutuhkan bisa diambilkan dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD) lain yang sudah ada. Sementara untuk anggaran operasional, bisa diambilkan dari dana penanggulangan bencana yang selama ini disatukan di Dinsos, Kesbangpolinmas, Satkorlak, atau lainnya.

Sementara dengan sudah adanya BPBD, jika terjadi bencana di daerahnya, dukungan dari APBN, APBD I, BNPB maupun BPBD Jateng akan mengalir. Baik berupa dana, logistik, sarana operasional, dan lainnya. Koordinasi dalam penanggulangan bencana juga lancar.

Jadi, lagi-lagi persoalan kembali pada komitmen dan konsistensi para pembuat keputusan di daerah, bupati/wali kota dan DPRD. Yang pasti, jika secara kelembagaan sudah kuat, realisasi paradigma penanggulangan bencana dari represif menjadi preventif, sudah maju selangkah lagi. Termasuk dalam hal mitigasi atau upaya mengurangi risiko bencana bisa dilakukan secara terpadu. Ujung-ujungnya, masyarakat merasa terlindungi.

Ungkapan Wakil Ketua DPRD Purworejo, M Abdullah yang menyayangkan belum dibentuknya BPBD yang berdasarkan Perda, terasa relevan karena tingkat ancaman bencana di daerah itu cukup tinggi. Begitu juga ungkapkan anggota Komisi E DPRD Jateng, Muh Zein Adv yang berharap agar tahun ini semua daerah memililki lembaga serupa yang dibentuk lewat peraturan daerah, pantas diapresiasi dan ditindaklanjuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar